Krisis finansial global yang terjadi saat ini sudah seharusnya menjadi pelajaran mengenai ethics dan good corporate governance. Berbagai peristiwa kita lalui, mulai dari terkuaknya krisis subprime mortgage, fenomena Golden Parachutes, hingga skandal Madoff dan Satyam, merupakan contoh-contoh yang merupakan tanda bahwa ethics dan good corporate governance semakin memudar.
Pertama-tama, krisis subprime mortgage ini merupakan hasil dari ketidak hati-hatian dalam melakukan manajemen risiko, sehingga institusi-institusi finansial meloloskan kredit subprime bagi mereka yang sebenarnya tidak layak. Sehingga, ketika suku bunga semakin naik, maka banyak debitur yang tidak bisa membayar, sehingga terjadilah kredit macet dan lonjakan penyitaan rumah.
Sementara itu, sekuritas turunan dari subprime ini, yakni CDO, sekuritas yang dijamin oleh serangkaian pinjaman termasuk subprime, juga dipegang oleh banyak institusi finansial di seluruh dunia. Sehingga ketika pinjaman subprime macet, tentunya ikut berdampak buruk bagi CDO. Dalam kasus ini, ethics dan good corporate governance dipertanyakan, terutama karena kurangnya visi dalam mengelola risiko. Badan rating juga disorot karena memberikan rating bagus padahal sebenarnya tidak demikian kenyataannya.
Selanjutnya kasus Bernard Madoff, yang mengguncangkan dunia ketika ia diberitakan menyerahkan diri dan mengaku bahwa telah melakukan fraud sebesar 50 miliar atau setara dengan Rp550 trilyun, yang menjadikannya fraud terbesar sepanjang sejarah. Skema penipuan yang dilakukan Madoff ini adalah berupa skema investasi, dimana ia menjanjikan return tertentu bagi investornya. Padahal kenyataannya, investasinya tidak menguntungkan, dan serupa dengan sistem money game atau gali lubang tutup lubang, dimana investor dibayar dengan setoran dari investor baru.
Pihak yang menjadi korban Madoff tidak tanggung-tanggung, yakni institusi-institusi finansial seperti HSBC, Fortis, BNP Paribas, Royal Bank of Scotland yang terpaksa menelan kerugian miliaran Dollar dari fraud ini. Mengapa ini bisa terjadi? Hal ini terjadi karena kepercayaan terhadap figur dan reputasi seseorang (Madoff) menjadikan banyak institusi lalai melakukan manajemen risiko terhadap investasinya.
Kemudian Satyam, yang dijuluki dengan Enron India, karena kasus yang mirip, yakni melakukan manipulasi terhadap laporan keuangan, mulai dari melaporkan pendapatan yang jauh lebih besar dari aktual, pencatatan kas yang sebagian besar fiktif, serta pengakuan utang yang jauh lebih kecil. Kasus ini merupakan contoh absennya good corporate governance dan gagal terdeteksi oleh auditor dan regulator.
Sementara itu, fenomena Golden Parachutes juga menjadi sasaran kritik, dimana para mantan-mantan CEO yang perusahaannya bermasalah pergi dengan bonus puluhan, bahkan ratusan juta dollar. Padahal, kinerja perusahaan tidak seberapa dibandingkan dengan bonus yang mereka peroleh. Kasus yang baru terkuak adalah John Thain, yang baru saja mengundurkan diri dari posisi CEO Merrill Lynch setelah berbicara dengan CEO Bank of America Kenneth Lewis. Dalam sebuah laporan yang dipublikasikan, sepanjang kepemimpinannya ia menghabiskan $1.2 juta atau sekitar Rp13 milyar hanya untuk mendekorasi ulang kantor. Kerugian Merrill Lynch kuartal IV ini sebesar $15.4 miliar, dan tentunya tindakan John Thain melakukan redekorasi dalam kondisi perusahaan di tengah krisis jelas menyalahi good corporate governance.
Menyikapi hal ini, banyak pelajaran yang tentunya bisa kita petik. Sepandai-pandai tupai melompat, pasti akan jatuh juga. Ketika ethics dan GCG diabaikan, maka tentunya di masa depan akan menghasilkan bencana, Oleh karena itu, dalam menjalankan bisnis, sudah seharusnya ethics dan GCG selalu dipegang.
sumber: http://www.managementfile.com/column.php?sub=risk&id=1119&page=risk
Ulasan :
Setiap perusahaan harus memiliki manajemen yang baik, agar kejadian yang merugikan perusahaan dapat diteken seminimal mungkin. Pada kenyataannya "tikus-tikus" yang menggerogoti perusahaan, bukan hanya datang dari pegawai rendahan, namun lebig kepada pegawai yang memiliki jabatan dan tanggungjawab yang besar di perusahaan tersebut. Sehingga kerugian yang ditanggung perusahaan jauh lebih besar.
Pertama-tama, krisis subprime mortgage ini merupakan hasil dari ketidak hati-hatian dalam melakukan manajemen risiko, sehingga institusi-institusi finansial meloloskan kredit subprime bagi mereka yang sebenarnya tidak layak. Sehingga, ketika suku bunga semakin naik, maka banyak debitur yang tidak bisa membayar, sehingga terjadilah kredit macet dan lonjakan penyitaan rumah.
Sementara itu, sekuritas turunan dari subprime ini, yakni CDO, sekuritas yang dijamin oleh serangkaian pinjaman termasuk subprime, juga dipegang oleh banyak institusi finansial di seluruh dunia. Sehingga ketika pinjaman subprime macet, tentunya ikut berdampak buruk bagi CDO. Dalam kasus ini, ethics dan good corporate governance dipertanyakan, terutama karena kurangnya visi dalam mengelola risiko. Badan rating juga disorot karena memberikan rating bagus padahal sebenarnya tidak demikian kenyataannya.
Selanjutnya kasus Bernard Madoff, yang mengguncangkan dunia ketika ia diberitakan menyerahkan diri dan mengaku bahwa telah melakukan fraud sebesar 50 miliar atau setara dengan Rp550 trilyun, yang menjadikannya fraud terbesar sepanjang sejarah. Skema penipuan yang dilakukan Madoff ini adalah berupa skema investasi, dimana ia menjanjikan return tertentu bagi investornya. Padahal kenyataannya, investasinya tidak menguntungkan, dan serupa dengan sistem money game atau gali lubang tutup lubang, dimana investor dibayar dengan setoran dari investor baru.
Pihak yang menjadi korban Madoff tidak tanggung-tanggung, yakni institusi-institusi finansial seperti HSBC, Fortis, BNP Paribas, Royal Bank of Scotland yang terpaksa menelan kerugian miliaran Dollar dari fraud ini. Mengapa ini bisa terjadi? Hal ini terjadi karena kepercayaan terhadap figur dan reputasi seseorang (Madoff) menjadikan banyak institusi lalai melakukan manajemen risiko terhadap investasinya.
Kemudian Satyam, yang dijuluki dengan Enron India, karena kasus yang mirip, yakni melakukan manipulasi terhadap laporan keuangan, mulai dari melaporkan pendapatan yang jauh lebih besar dari aktual, pencatatan kas yang sebagian besar fiktif, serta pengakuan utang yang jauh lebih kecil. Kasus ini merupakan contoh absennya good corporate governance dan gagal terdeteksi oleh auditor dan regulator.
Sementara itu, fenomena Golden Parachutes juga menjadi sasaran kritik, dimana para mantan-mantan CEO yang perusahaannya bermasalah pergi dengan bonus puluhan, bahkan ratusan juta dollar. Padahal, kinerja perusahaan tidak seberapa dibandingkan dengan bonus yang mereka peroleh. Kasus yang baru terkuak adalah John Thain, yang baru saja mengundurkan diri dari posisi CEO Merrill Lynch setelah berbicara dengan CEO Bank of America Kenneth Lewis. Dalam sebuah laporan yang dipublikasikan, sepanjang kepemimpinannya ia menghabiskan $1.2 juta atau sekitar Rp13 milyar hanya untuk mendekorasi ulang kantor. Kerugian Merrill Lynch kuartal IV ini sebesar $15.4 miliar, dan tentunya tindakan John Thain melakukan redekorasi dalam kondisi perusahaan di tengah krisis jelas menyalahi good corporate governance.
Menyikapi hal ini, banyak pelajaran yang tentunya bisa kita petik. Sepandai-pandai tupai melompat, pasti akan jatuh juga. Ketika ethics dan GCG diabaikan, maka tentunya di masa depan akan menghasilkan bencana, Oleh karena itu, dalam menjalankan bisnis, sudah seharusnya ethics dan GCG selalu dipegang.
sumber: http://www.managementfile.com/column.php?sub=risk&id=1119&page=risk
Ulasan :
Setiap perusahaan harus memiliki manajemen yang baik, agar kejadian yang merugikan perusahaan dapat diteken seminimal mungkin. Pada kenyataannya "tikus-tikus" yang menggerogoti perusahaan, bukan hanya datang dari pegawai rendahan, namun lebig kepada pegawai yang memiliki jabatan dan tanggungjawab yang besar di perusahaan tersebut. Sehingga kerugian yang ditanggung perusahaan jauh lebih besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar