Minggu, 28 November 2010

Etika Dalam Auditing (Kendali Mutu KAP)

Masalah klasik yang dihadapi akuntan publik dari tahun ke tahun adalah tindakan para oknum yang tidak mempunyai izin mengatasnamakan profesi ini untuk cari keuntungan pribadi dengan melakukan praktik ilegal sebagai akuntan publik. Namun, pemerintah hanya melakukan pengaturan kepada akuntan publik berizin, dan terkesan membiarkan praktik akuntan publik yang tidak berizin.

Bagaimana masalah sebenarnya, Bisnis Indonesia mewawancarai Ketua bidang Humas dan Media Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) Erick. Berikut petikannya.


Kenapa timbul akuntan publik palsu?


Ada beberapa sebab masalah itu muncul. Mulai dari sebaran kantor akuntan publik (KAP) sampai pada perlindungan hukum akuntan publik berizin yang masih kurang memadai. Termasuk juga jasa fee yang dipatok akuntan palsu jauh dari kewajaran.


Masalahnya bukan berapa besarnya fee, melainkan kesadaran hukum pengguna jasa yang masih kurang. Dengan menggunakan akuntan publik palsu persoalan yang muncul pada kemudian hari atas hasil auditnya tak bisa dipertanggungjawabkan. Berbeda dengan hasil audit akuntan publik dari KAP resmi yang secara hukum dapat dipertanggungjawabkan.


Berapa besar imbalan yang ditawarkan akuntan publik palsu?


Tidak wajar. Mereka tak melihat faktor kesulitan pekerjaan, tetapi mematok harga Rp2 juta-Rp5 juta. Hasilnya, seolah-olah mereka akuntan publik yang telah punya izin dari pemerintah, padahal gelap.


Kenapa praktik ilegal itu terus berlangsung?


Bisa terjadi karena pengguna jasa memang tidak mengetahui, atau dibohongi oleh akuntan publik ilegal. Bisa juga pura-pura tidak tahu. Yang terakhir ini umumnya bagi peserta tender pengadaan barang dan jasa pemerintah. Hal lain, juga tak kalah pentingnya, adalah distribusi atau keberadaan KAP resmi terkonsentrasi pada wilayah yang dianggap potensi bisnis seperti Jawa. Dari data IAPI, dari 502 KAP sekitar 80% berdomisili di Jawa, sisanya menyebar di Sumatra, Bali, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, dan Papua.


Dari 80% itu, KAP di Jakarta paling banyak, yakni sekitar 50%. Begitu pula dengan akuntan publik, dari sekitar 898 orang sebagian besar berpraktik di Ibu Kota. Jumlah yang masih minim ini memungkinkan muncul praktik akuntan publik palsu dan KAP tidak resmi. Celakanya, pemerintah kurang peduli dan seolah-olah membiarkan kejahatan itu terus berlangsung. Sikap ini yang disesali oleh kami.


Berapa banyak pengaduan praktik ilegal yang dilakukan akuntan publik dan KAP palsu?


Sejauh ini pengaduan praktik akuntan publik palsu cukup banyak, baik oleh KAP resmi maupun masyarakat pengguna jasa yang dirugikan. Sebagian di antaranya sudah ada yang diproses hukum.


Kasus yang terungkap memang kurang dipublikasi, sehingga masyarakat tak banyak mengetahui.


Ini terkait dengan profesi akuntan publik sendiri, yakni dalam ruang lingkup bisnis. Jadi, banyak akuntan publik yang dirugikan, memilih diam daripada berteriak-teriak menyangkut penangkapan pelaku praktik liar.


Namun, kami terus mengawasi ketat praktik ilegal itu, sekalipun Kementerian Keuangan kurang memberikan respons yang memadai.


Apakah ada praktik kurang terpuji dilakukan anggota IAPI atau akuntan publik resmi?


Indikasi pidana tidak ada, karena profesi ini memiliki standar profesi. Selain itu, di antara KAP resmi dapat saling melakukan review, dan IAPI mempunyai badan review mutu sebagai kendali kualitas praktik akuntan publik.


Kemungkinan terjadi di bawah standar, tidak bersifat pidana. Namun begitu, jika hal itu terjadi pengguna jasa akuntan tentu dirugikan.


Jika hal itu sampai terjadi, sanksi apa saja yang diterapkan IAPI kepada anggotanya?


Ada tiga tahapan sanksi, yakni peringatan, pembekuan, dan pencabutan izin praktik. Bila seorang akuntan publik izin praktiknya dicabut, sudah tentu yang bersangkutan tidak bisa lagi memberikan layanan profesi kepada masyarakat.


Pemerintah belum mampu melindungi profesi akuntan publik, maksud Anda?


Bisa dilihat dari regulasi yang ada, sampai saat ini peraturan hukum akuntan publik masih mengacu pada UU No.34/1954 tentang Pemberian Gelar Akuntan. Menurut hemat kami, ketentuan hukum ini belum tepat sebagai dasar hukum bagi akuntan publik dan KAP. Begitu pula peraturan yang menjadi turunan dari UU itu, belum pas buat akuntan publik.


Turunan dari UU UU No. 34/1954 tentang Pemberian Gelar Akuntan berupa regulasi yang mengatur akuntan publik dan KAP bersifat subjektif dan cenderung sebagai "legalisasi" diskresi kebijakan pemerintah, ketimbang memenuhi kebutuhan profesi. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa pemerintah belum mampu melindungi profesi ini secara utuh. Maka, jangan heran banyak bermunculan akuntan publik palsu, mengaku dari KAP resmi.


Apakah ideal jumlah akuntan publik layani 23.000 perusahaan di negeri ini?


Tentu tidak ideal. Perlu regenerasi akuntan publik baru. Namun, sejauh ini anak muda yang minat jadi akuntan publik sedikit sekali.


Sebenarnya profesi ini sangat diperlukan oleh perusahaan swasta dan pemerintah. Bahkan penyelenggaraan pemilihan umum dan daerah (pilkada) pun harus menggunakan jasa akuntan publik. Potensi bisnisnya cukup besar.


sumber : http://rachmatjusuf.megabyet.net/berita-147-perlindungan-profesi-akuntan-publik-belum-memadai.html

Ulasan :

Standar Pengendalian Mutu Kantor Akuntan Publik (KAP) memberikan panduan bagi kantor akuntan publik di dalam melaksanakan pengendalian kualitas jasa yang dihasilkan oleh kantornya dengan mematuhi berbagai standar yang diterbitkan oleh (DSPAP IAPI) dan "Aturan Etika kompartment Akuntan Publik" yang diterbitkan oleh IAPI.

Unsur-unsur pengendalian mutu yang harus harus diterapkan oleh setiap KAP pada semua jenis jasa audit, atestasi dan konsultansi meliputi:

  • independensi - meyakinkan semua personel pada setiap tingkat organisasi harus mempertahankan indepedensi
  • penugasan personel - meyakinkan bahwa perikatan akan dilaksanakan oleh staf profesional yang memiliki tingkat pelatihan dan keahlian teknis untuk perikatan dimaksud
  • konsultasi - meyakinkan bahwa personel akan memperoleh informasi memadai sesuai yang dibutuhkan dari orang yang memiliki tingkat pengetahuan, kompetensi, pertimbangan (judgement), dan wewenang memadai
  • supervisi - meyakinkan bahwa pelaksanaan perikatan memenuhi standar mutu yang ditetapkan oleh KAP
  • pemekerjaan (hiring) - meyakinkan bahwa semua orang yang dipekerjakan memiliki karakteristik semestinya, sehingga memungkinkan mereka melakukan penugasan secara kompeten
  • pengembangan profesional - meyakinkan bahwa setiap personel memiliki pengetahuan memadai sehingga memungkinkan mereka memenuhi tanggung jawabnya. Pendidikan profesional berkelanjutan dan pelatihan merupakan wahana bagi KAP untuk memberikan pengetahuan memadai bagi personelnya untuk memenuhi tanggung jawab mereka dan untuk kemajuan karier mereka di KAP
  • promosi (advancement) - meyakinkan bahwa semua personel yang terseleksi untuk promosi memiliki kualifikasi seperti yang disyaratkan untuk tingkat tanggung jawab yang lebih tinggi.
  • penerimaan dan keberlanjutan klien - menentukan apakah perikatan dari klien akan diterima atau dilanjutkan untuk meminimumkan kemungkinan terjadinya hubungan dengan klien yang manajemennya tidak memiliki integritas berdasarkan pada prinsip pertimbangan kehati-hatian (prudence)
  • inspeksi - meyakinkan bahwa prosedur yang berhubungan dengan unsur-unsur lain pengendalian mutu telah diterapkan dengan efektif

Etika dalam akuntansi (Creative Accounting)

Akuntansi Kreatif, yang umumnya melibatkan penyusunan laporan keuangan dengan tujuan menyesatkan pembaca laporan keuangan tersebut, merupakan prima facie suatu oflying bentuk, seperti yang didefinisikan dengan dimulai dengan mendefinisikan dan menggambarkan akuntansi kreatif. Itu menguji dan menolak argumen untuk mempertimbangkan akuntansi kreatif, meskipun niat menipu, sebagai tidak menjadi bentuk berbohong. Kemudian memeriksa isu-isu etis yang diangkat oleh akuntansi kreatif, dalam terang literatur tentang etika berbohong. Kepustakaan ini meliputi evaluasi berbagai alasan dan pembenaran untuk berbohong, dan ini akan diperiksa di sini dalam kaitannya dengan akuntansi kreatif. Hal ini menyimpulkan bahwa bahkan dalam keadaan di mana akuntansi kreatif dikatakan akan melayani tujuan yang berharga, bahwa tujuan akan setidaknya juga dilayani oleh komunikasi jujur.

Kreatif akuntansi dan manajemen laba adalah eufemisme mengacu pada akuntansi praktek-praktek yang dapat mengikuti surat aturan praktik akuntansi standar , tapi jelas menyimpang dari semangat aturan. Mereka dicirikan oleh komplikasi yang berlebihan dan penggunaan cara novel mengkarakterisasi pendapatan, aset, atau kewajiban dan niat untuk mempengaruhi pembaca terhadap interpretasi yang diinginkan oleh penulis. Istilah "inovatif" atau "agresif" juga kadang digunakan.

Istilah umum dipahami sebagai mengacu pada sistematis keliru dari benar pendapatan dan aset perusahaan atau organisasi lainnya. " Kreatif akuntansi "adalah akar dari sejumlah skandal akuntansi , dan banyak usulan untuk reformasi akuntansi - biasanya berpusat pada analisis diperbarui modal dan faktor produksi yang benar akan mencerminkan bagaimana nilai tambah.

Penelitian terbaru menunjukkan bahwa laporan keuangan kehilangan relevansi. Terutama ini karena pentingnya strategis pertumbuhan aset tidak berwujud dalam kinerja perusahaan. Sebuah solusi yang mungkin adalah untuk memodifikasi standar akuntansi sehingga laporan termasuk aktiva tidak berwujud yang dihasilkan lebih diri, memperhitungkan dengan risiko yang melekat mereka dan kesulitan penilaian. Kami disurvei petugas pinjaman yang diminta untuk menilai kelayakan kredit dari sebuah perusahaan hipotetis. Satu-satunya informasi yang diberikan adalah versi sederhana dari laporan keuangan. Setengah kelompok mendapat laporan mana biaya penelitian dan pengembangan telah dikapitalisasi. Setengah lainnya mendapat laporan di mana biaya ini telah diperlakukan sebagai beban. Temuan menunjukkan kapitalisasi yang bermakna lebih mungkin untuk menarik respon positif terhadap permintaan kredit. Maka pembahasan tentang ini menimbulkan pertanyaan apakah akuntansi berwujud mungkin menyediakan manajer dengan satu teknik akuntansi lebih kreatif dan, karena itu, implikasi etika.

Kasus Pelanggaran Etika Bisnis

Badan Pengawas Periklanan Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI) sedikitnya telah menegur 56 perusahaan iklan atas pelanggaran etika selama dua tahun terskhir ini.

Pelanggaran ini berupa penampilan iklan yang superlative, yaitu memunculkan produk sebagai yang terbaik atau termurah. Iklan superlative ini acapkali dibumbui kecenderungan menjatuhkan pesaing di pasaran. “Jika semua bilang baik, termurah, ini akan membingungkan masyarakat dan pelanggan,” ujar Ketua Badan Pengawas PPPI, FX Ridwan Handoyo kepada wartawan, belum lama ini.

Dia mencontohkan iklan pada industri telekomunikasi. Setiap operator telekomunikasi mengaku menawarkan tariff termurah. Bahkan ada iklan yang menyebutkan bahwa produk paling murah meriah. Juga ada iklan produk kesehatan atau kosmetik yang menyebutkan paling efektif. “Tapi semua iklan superlative itu tidak didukung oleh bukti yang kuat. Jadi bisa merugikan masyarakat dan pelanggannya,” tuturnya kemudian.

Surat teguran dilayangkan setelah Badan Pengawas PPPI menemukan dugaan pelanggaran berdasarkan pengaduan masyarakat atau hasil pantauan, Kepada perusahaan periklanan anggota PPPI, Badan pengawas PPPI melakukan peneguran sekaligus meminta keterangan. Sedangkan kepada perusahaan non anggota, surat teguran berupa imbauan agar menjunjung tinggi etika beriklan.

Ridwan menyebutkan dari 149 kasus yang ditangani Badan Pengawas PPPI, tahun 2006 sebanyak 56n kasus dan 93 kasus di tahun 2007. Sebanyak 90 kasus telah dinyatakan melakukan pelanggaran dan 44 kasus lainnya masih dalam penanganan. Dari yang diputus melanggan etika, 39 kasus tak mendapatb respon oleh agensi. Untuk itu BP PPPI menruskannya ke Badan Musyawarah Etika PPPI.

Jumlah perusahaan periklanan yang melakukan pelanggaran cukup banyak itu ada kemungkinan terjadi akibat tidak adanya sanksi yang tegas bagi pelanggar. Diakuinya, selama ini rambu-rambu periklanan hanya diatur dalam bentuk Etika Periklanan Indonesia. “Mungkin karena belum ada aturan hukum yang jelas, pelanggaran tetap banyak,’ katanya.


sumber : http://surabayawebs.com/index.php/2008/01/10/sebanyak-56-biro-iklan-melakukan-pelanggaran-etika/

Ulasan :

Secara umum, prinsip-prinsip yang berlaku dalam bisnis yang baik sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari kehidupan kita sebagai manusia, dan prinsip-prinsip ini sangat erat terkait dengan sistem nilai yang dianut oleh masing-masing masyarakat. Adapun beberapa prinsip yang menjadi acuan dalam etika bisnis ini adalah Prinsip otonomi, Prinsip kejujuran, Prinsip keadilan, Prinsip saling menguntungkan, dan Prinsip integritas moral. Namun semakin banyak pelaku bisnis yang tidak memakai etikanya lagi, semata karna semua kegiatan usaha hanya diperuntukan untuk memperoleh laba yang sebesar-besarnya.

Ketika Etika dan Good Corporate Governance Semakin Memudar

Krisis finansial global yang terjadi saat ini sudah seharusnya menjadi pelajaran mengenai ethics dan good corporate governance. Berbagai peristiwa kita lalui, mulai dari terkuaknya krisis subprime mortgage, fenomena Golden Parachutes, hingga skandal Madoff dan Satyam, merupakan contoh-contoh yang merupakan tanda bahwa ethics dan good corporate governance semakin memudar.

Pertama-tama, krisis subprime mortgage ini merupakan hasil dari ketidak hati-hatian dalam melakukan manajemen risiko, sehingga institusi-institusi finansial meloloskan kredit subprime bagi mereka yang sebenarnya tidak layak. Sehingga, ketika suku bunga semakin naik, maka banyak debitur yang tidak bisa membayar, sehingga terjadilah kredit macet dan lonjakan penyitaan rumah.

Sementara itu, sekuritas turunan dari subprime ini, yakni CDO, sekuritas yang dijamin oleh serangkaian pinjaman termasuk subprime, juga dipegang oleh banyak institusi finansial di seluruh dunia. Sehingga ketika pinjaman subprime macet, tentunya ikut berdampak buruk bagi CDO. Dalam kasus ini, ethics dan good corporate governance dipertanyakan, terutama karena kurangnya visi dalam mengelola risiko. Badan rating juga disorot karena memberikan rating bagus padahal sebenarnya tidak demikian kenyataannya.

Selanjutnya kasus Bernard Madoff, yang mengguncangkan dunia ketika ia diberitakan menyerahkan diri dan mengaku bahwa telah melakukan fraud sebesar 50 miliar atau setara dengan Rp550 trilyun, yang menjadikannya fraud terbesar sepanjang sejarah. Skema penipuan yang dilakukan Madoff ini adalah berupa skema investasi, dimana ia menjanjikan return tertentu bagi investornya. Padahal kenyataannya, investasinya tidak menguntungkan, dan serupa dengan sistem money game atau gali lubang tutup lubang, dimana investor dibayar dengan setoran dari investor baru.

Pihak yang menjadi korban Madoff tidak tanggung-tanggung, yakni institusi-institusi finansial seperti HSBC, Fortis, BNP Paribas, Royal Bank of Scotland yang terpaksa menelan kerugian miliaran Dollar dari fraud ini. Mengapa ini bisa terjadi? Hal ini terjadi karena kepercayaan terhadap figur dan reputasi seseorang (Madoff) menjadikan banyak institusi lalai melakukan manajemen risiko terhadap investasinya.

Kemudian Satyam, yang dijuluki dengan Enron India, karena kasus yang mirip, yakni melakukan manipulasi terhadap laporan keuangan, mulai dari melaporkan pendapatan yang jauh lebih besar dari aktual, pencatatan kas yang sebagian besar fiktif, serta pengakuan utang yang jauh lebih kecil. Kasus ini merupakan contoh absennya good corporate governance dan gagal terdeteksi oleh auditor dan regulator.

Sementara itu, fenomena Golden Parachutes juga menjadi sasaran kritik, dimana para mantan-mantan CEO yang perusahaannya bermasalah pergi dengan bonus puluhan, bahkan ratusan juta dollar. Padahal, kinerja perusahaan tidak seberapa dibandingkan dengan bonus yang mereka peroleh. Kasus yang baru terkuak adalah John Thain, yang baru saja mengundurkan diri dari posisi CEO Merrill Lynch setelah berbicara dengan CEO Bank of America Kenneth Lewis. Dalam sebuah laporan yang dipublikasikan, sepanjang kepemimpinannya ia menghabiskan $1.2 juta atau sekitar Rp13 milyar hanya untuk mendekorasi ulang kantor. Kerugian Merrill Lynch kuartal IV ini sebesar $15.4 miliar, dan tentunya tindakan John Thain melakukan redekorasi dalam kondisi perusahaan di tengah krisis jelas menyalahi good corporate governance.

Menyikapi hal ini, banyak pelajaran yang tentunya bisa kita petik. Sepandai-pandai tupai melompat, pasti akan jatuh juga. Ketika ethics dan GCG diabaikan, maka tentunya di masa depan akan menghasilkan bencana, Oleh karena itu, dalam menjalankan bisnis, sudah seharusnya ethics dan GCG selalu dipegang.

sumber: http://www.managementfile.com/column.php?sub=risk&id=1119&page=risk

Ulasan :
Setiap perusahaan harus memiliki manajemen yang baik, agar kejadian yang merugikan perusahaan dapat diteken seminimal mungkin. Pada kenyataannya "tikus-tikus" yang menggerogoti perusahaan, bukan hanya datang dari pegawai rendahan, namun lebig kepada pegawai yang memiliki jabatan dan tanggungjawab yang besar di perusahaan tersebut. Sehingga kerugian yang ditanggung perusahaan jauh lebih besar.